Saturday, March 1, 2014

Novelet: Jika Kelak Waktunya Telah Tiba 2



Jika Kelak Waktunya Telah Tiba 2

Oleh: Devy Destiani


            Ketika engkau tak percaya lagi akan keajaiban Tuhan. Disaat itulah kau akan merasakan kehampaan hidup. Sesungguhnya ketika engkau berkata “Tidak mungkin”, disaat itulah pula Tuhan mampu melakukan segalanya. Jadi ketika engkau merasa harapanmu sungguh tak mungkin terjadi namun tetap percaya akan kuasa Tuhan, disaat itulah Tuhan akan membuat keajaiban untukmu. ^_^



            “Hah, Shinichi Kudo???” Tanya Ara dengan tampang kebingungan. Wajar saja bagaimana mungkin ada orang bernama Shinichi Kudo di Indonesia.
            “Hahaha.. Aku hanya bercanda, mengapa wajahmu jadi aneh begitu :D” Jawab pria itu enteng.
            “Oh, hanya bercanda.” Ucap Ara dengan sedikit senyum terpaksa. Jelas saja Ara semakin tidak nyaman. Mengapa aku jadi sebodoh ini? Berharap dia benar-benar Shinichi Kudo, batin Ara sedih.
            “Namaku adalah M. Putra Redho Kusuma, mungkin kita bisa jadi teman antar Fakultas.” Ucapnya ramah.
            “Tentu dengan senang hati,  aku permisi dulu ya.” Ara lalu membalikan tubuhnya untuk segera meninggalkan pria dihadapannya. Tapi ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Rasanya ia sering sekali mendengar bahkan membaca nama yang barusan disebutkan oleh pria itu. Tapi dimana? Otak Ara terus berfikir. Akhirnya pada langkah ketiga ia membalikan tubuh.
            “Kau... Kau... adalah Putra kusuma yang berhasil membuat karya tulis tentang cara mendeteksi kanker darah sejak lahir. A... aku sangat suka tulisan itu. Hipotesisnya, hasilnya, serta keakuratan percobaanmu sungguh mengagumkan.” Ara berujar dengan semangat yang menggebu-gebu. Membuat pria dihadapannya hanya mampu tersenyum bingung.
            “Tentu hasilnya mengagumkan, aku menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk itu.” Ujarnya dengan nada sombong.
            “Waa, aku jadi menyesal mengatakannya.” Ucap Ara jujur. Beberapa detik diam lalu pecah bersama gelak tawa keduanya.
            “Mungkin akhirnya Putra telah menemukan Putrinya.” Putra mulai menghentikan tawanya.
            “Hah?” Ara bingung lagi.
            “Jangan dipikirkan. Oia, mulai sekarang aku akan memanggilmu Putri ya.”
            “Trimakasih itu juga bagian dari namaku, indah kan :p.” Ara bangga.
            “Yap, tapi Putri Jambret.” Ujar Putra dengan nada mengejek yang membuat tawa mereka akhirnya pecah lagi.
***
            Awal pertemuan mereka yang unik tentu membuat bekas di hati masing-masing. Sosok Putra yang humoris serta Ara yang bersahaja sungguh memperindah semuanya, sehingga mampu membentuk tali pertemanan yang begitu indah di antara mereka. Apalagi mereka sama-sama menyukai Detective Conan. Ara mulai terbuka, ia pun telah menceritakan kesan pertamanya saat bertemu dengan Putra. Kesan yang menciptakan perasaan bahwa pria di hadapannya saat itu adalah Shinichi Kudo. Kalian tahu reaksi Putra? Dia tertawa terbahak-bahak dengan sedikit blushing diwajahnya.
            “Sudah ku cari Kau kemana-mana. Ternyata di sini. Selalu saja di perpustakaan menatap untaian kata di buku-buku tebal itu.” Cerocos Putra yang terlihat bak anak ayam menemukan induknya.
            “Dari pada aku beli, kan enak baca di perpustakaan. Gratis, wek :p” Jawab Ara dengan cibiran.
            “Huuh. Oia, aku mau menunjukkan sesuatu kepadamu.”
            “Apa?” Jawab ara singkat, masih fokus membaca buku di depannya.
            “Taraa.” Putra menunjukkan beberapa lembar kertas warna-warni di tangannya.
            “Ini surat dari para penggemar. Seorang calon dokter yang jenius dan tampan ini pasti sangat memikat.” Jawab Putra bangga seraya menyodorkan kertas-kertas itu kepada Ara. Ara pun menghentikan bacaannya dan menutup rapat buku di hadapannya.
            “Boleh saja GR, tapi tetapkan satu pilihan yang serius!” Ujar Ara sambil memperhatikan kertas-kertas yang kini ada di genggaman tangannya.
            “Serius ya.. Benar juga sih.” Celetuk Putra dengan tatapan khusus ke Ara.
            “Kenapa lihat muka orang seperti itu?!”
            “Eh.. Enggak.” Putra langsung mengalihkan pandangannya.
            “Tunggu dulu, aku merasa seperti pernah membaca atau menonton adegan yang terjadi barusan.” Ujar Ara sambil menopang dagu, terlihat berfikir serius.
            “Aku tahu.” Ucap Putra.
            “Aku juga sudah ingat, ayo ucapkan bersama.”
            “Satu... Dua ... Tiga ... Detective Conan Chapter One.” Ucap mereka hampir bersamaan. Tentu saja hal konyol yang mereka lakukan ini menjadi pusat perhatian, terlebih ketika tawa mereka meledak. Hampir semua orang di perpustakaan meletakkan jari telunjuk mereka ke mulut. Lalu berkata “Huuush... DIAM!”
            Dengan berat hati akhirnya mereka berdua berjalan gontai keluar. Meski begitu, guratan senyum bahagia tak bisa ditutupi dari wajah mereka.
            “Ara? Apa kau besok ada kerjaan?” tanya Putra.
            “Ada,” jawab Ara singkat.
            “Oh,” aura wajah Putra memancarkan rona kecewa.
            “Aku harus bangun tidur, sholat, masak, makan, mandi, kuliah, dan lain-lain,” sambung Ara lagi.
            “Uh, bukan itu maksudku. Jam 3 besok mau menemaniku?” tanya Putra hati-hati.
            “Kemana?”
            “Ayolah, aku tak berniat mencelakakanmu,” Putra terlihat semakin getar-getir.
            “Baiklah, tapi bagda ashar aja ya,” jawab Ara.
            “Terima kasih Putri baik, aku duluan ya  ada kelas nih. Aku tunggu bagda ashar.”
            Setelah menerima balasan senyum dari Ara, Putra bergegas lari. Entah mengapa dia merasa begitu bahagia. Ingin rasanya ia berteriak sebagai selebrasi dari kebahagiaannya. Tapi diurungkan niatnya agar tidak di bawa ke RSJ :D.
            Di sisi lain, Ara masih termenung. Dia merasa terhipnotis untuk berkata ia pada temannya itu. “Ah, aku menyalahi aturan lagi,” batin Ara kesal. Lagi-lagi dia harus terjebak dalam dua perkara yang sulit baginya. Di satu sisi, Ara tidak ingin terlalu dekat dengan Putra yang bukan mahramnya. Tapi di sisi lain, yang dia juga tidak mengerti datangnya dari mana, Ara sangat bahagia berada di dekat Putra.
***
            “Ayo cepat, kau sudah lewat dari bagda ashar!” gerutu Putra sambil menarik tangan ara.
            “Tak bisakah kau menghargai wanita! Aku mohon, tolong jangan sentuh aku,” Ara cemberut sambil melepaskan tangan Putra.
            “Maaf, maaf, maaf Tuan Putri,” Putra terlihat amat menyesal.
            “Huh, kalau kau bukan temanku, habis kau!” Ara meniru logat batak yang membuat suasana jadi cair lagi.
            “Kau bisa saja, ayo cepat ikut aku!” perintah Putra yang ditemani dengan senyuman manisnya.
            Setibanya di sebuah restoran mewah, mereka duduk di tempat yang sangat strategis. Dengan nuansa romantisme yang kental,  api kecil menari-nari di atas lilin menyampaikan semerbak bau aroma terapi.
            “Mengapa kita kesini?” bisik  Ara.
            “Aku lapar.” Jawab Putra sekenanya.
            “Nggak apa-apa nih? Disini kelihatannya mahal.”
            “Jangan khawatir, aku sudah membongkar celengan.” Putra tersenyum dan mengedipkan satu matanya.
            Sambil menunggu pesanan mereka datang, tak ada satu bait kata pun keluar dari mulut keduanya. Padahal, biasanya mereka sangat fasih berbincang baik dalam bidang politik, sosial, dan budaya. :)
            “Putra, sebenarnya ada apa? Mengapa kau mengajakku ke sini?  Ara memecah keheningan.
            “Tidak ada apa-apa, sekali-sekali aku ingin mentraktirmu makanan mewah.” Putra terlihat gugup.
            Ara sekarang termenung. Rasanya beberapa hari yang lalu putra mentraktirnya makan di cafe, membelikan pizza, ayam panggang, dan berbagai macam jenis makanan lainnya. Apa itu tidak termasuk mewah? Batin Ara.
            “Oh, ku kira kau akan melamarku seperti Shinichi di volume 26,” Canda Ara.
            Tanpa sadar candaan Ara ini telah menskak teman yang ada dihadapannya ini. Jelas-jelas putra terlihat salah tingkah.
            “Aku hanya bercanda, jangan pasang wajah seserius itu dong,” Ara meledek Putra.
            “Jangan meledekku terus, aku mau bicara serius ni!” ujar Putra tegas.
            “Bicara apa??” Ara terlihat exaited.
            Deg ... Deg ... Deg...
            “Yang mau kubicarakan, emmm... makanannya enak ya.” Putra salah tingkah karena sebenarnya makanan mereka belum datang.
            “Aku tahu makanan di restoran mewah seperti ini pasti enak, tapi  kau bukan mau bicara itu kan,”
            “Iya, aah tidak.” Putra semakin getir sambil mengusap dahinya yang berpeluh.
            “Aku tahu kamu sulit mengatakannya. Tapi, sebagai laki-laki kamu harus mengatakannya. Kamu ingin pinjam koleksi Detective Conanku kan.”
            “Hah?” Gubrak, rasanya Putra benar-benar ingin jatuh mendengar kata-kata wanita dihadapannya ini. Mengapa dia tidak peka? Batinnya.
            “Lho bukan ya?”
            “Oh nggak, sebenarnya memang itu. Ha... Ha... Ha...” Putra tertawa terpaksa.
            “Mana mungkin itu dong!” lanjut Putra saat mulai mampu menguasai emosinya.
            “Eh?”
            “Aku sengaja mengajakamu makan karena ada yang ingin ku katakan padamu, bahwa sebenarnya aku tahu akan semua harapanmu.”
            “Harapanku?”
            “Harapanmu untuk bertemu dengan seorang berwajah Kim Soo Hyun, berkepribadian Shinichi Kudo, dan bersuara merdu saat membaca Al-Quran.”
            “Hya! Jangan ingatkan lagi :p ternyata ada juga orang  yang sempat membaca status itu. Aku malu mengingatnya.” Wajah Ara kini telah memerah.
            “Mengapa mesti malu? Padahal aku sudah susah payah untuk menjadi orang yang kau mau.”
            “Hah?” Ara terkejut.
            “Aku telah mengenalmu sebagai pribadi yang baik saat OSPEK, lama aku mencari tau tentangmu. Hingga suatu hari Tuhan memperlihatkanku pada statusmu. Aku menganggap itu sebagai takdir. Aku pelajari tokoh Shinichi Kudo, walaupun aku tak sebaik dia, aku sudah miripkan?” Putra bertanya yang langsung dijawab dengan anggukan kecil oleh Ara.
            “Walaupun aku juga tidak setampan Kim Soo Hyun,  tapi aku tampan jugakan.” Kali ini tak hanya mengangguk tapi Ara juga tertawa kecil.
            “Nah, harapanmu yang terakhir sedikit berat. Walaupun suaraku tak kalah dari Pasha Ungu, rasanya suaraku takkan bisa menandingi suara Bilal saat adzan.”
            “Membaca Al-Quran tak perlu dengan modal suara merdu atau nyaring seperti Bilal. Yang terpentinng istiqomah dalam membacanya pasti dengan sendirinya suara akan terdengar indah.” Jelas Ara.
            “Kau benar.Oia, karena aku telah mengungkapkan rahasia itu, maka hari ini aku ingin melamarmu.” Seraya mengeluarkan kotak kecil dibalik kemejanya.
            “Apakah kau mau?” lanjutnya lagi.
            “Maaf aku tidak bisa.” Rasanya ada sebuah batu besar ditenggorokannya ketika mengatakan ini.
            “Pasti tidak bisa menolak, Ha... ha...” kata Putra yakin.
            “Tidak, aku benar-benar tidak bisa. Maaf aku tidak mau pacaran.” Ara berucap dengan menundukan wajahnya, menutupi kristal yang telah bersemayam dalam kelopak matanya.
            “Aku tidak mengajakmu pacaran, aku akan melamarmu. 6 bulan lagi aku menyelesaikan study setelah itu aku akan menikahimu. Untuk sekarang kita tetap berteman seperti biasa, jadi kau jangan khawatir.” Putra masih berusaha meyakinkan.
            “Maaf. Aku tetap tak bisa.” Ara masih menunduk.
            “Putri coba tatap wajahku dulu, kau tak lihat aku bicara tulus, aku tak bercanda seperti biasanya.”
            Ara mengangkat wajahnya. Menyingkapkan kebenaran bahwa sedari tadi air matanya telah mengalir deras. Putra tertegun, dia sekarang malah merasa bersalah. Apa dia sudah keterlaluan memaksa Ara.
            “Maafkan aku, aku .. aku .. tidak punya daya dan upaya untuk berkata setuju. Aku tidak mau menyalahi takdir. 6 bulan bukan waktu yang sebentar. Siapa yang bisa menjamin 6 bulan yang akan datang engkau masih mencintaiku? Siapa yang bisa menjamin 6 bulan yang akan datang kita masih bisa bertemu? Siapa yang bisa menjamin 6 bulan yang akan datang aku belum meninggal!” Ara terisak-isak.
            Untunglah mereka duduk di tempat yang strategis sehingga tidak menarik perhatian pengunjung lainnya. Putra termenung, ia sadar akan kebenaran dari ucapan wanita dihadapannya.
            “Maafkan aku Putri, kau jangan menangis lagi.” Perasaan putra telah berkecamuk, namun tetap menenangkan Ara.
            Ara berdiri dari kursinya, namun entah apa yang terjadi keseimbangannya hilang. Ara terjatuh, untung Putra dengan sigap membantu. Wajah Ara tepat terjatu di pundak Putra. Sesegera Ara berdiri lagi, dan pergi ke toilet seraya menutup hidung dan mulutnya.
            Ketika Ara kembali dari toilet, suasananya telah berubah. Putra dengan sigap mengajak Ara memakan makanan mewah yang telah tersedia. Mereka makan sambil bercerita hal-hal lucu yang ringan, seolah-olah percakapan panjang dengan klimaks tinggi tadi tidak pernah terjadi.
***
            Putra menarik napas dalam, menenangkan pikirannya yang masih terbayang-bayang akan kejadian di restouran. Namun, ketika ia membuka kemejanya Putra tertegun. Guratan warna merah telah bersemayam di kemejanya. “Darah siapa ini?” Batinnya bertanya-tanya.  Darah itu berada tepat di bagian pundak kemejanya. Putra langsung teringat dengan Ara lagi. “Apakah benturan tadi terlalu kuat? Darahnya bisa sampai sebanyak ini?” Putra pun merasa getar-getir. 

Bersambung . . .

0 comments:

Post a Comment

Total Pageviews

Powered by Blogger.

Translate

Belajar untuk Menulis, Menulis untuk belajar