Jika Kelak Waktunya Telah Tiba 2
Oleh: Devy Destiani
Ketika
engkau tak percaya lagi akan keajaiban Tuhan. Disaat itulah kau akan merasakan
kehampaan hidup. Sesungguhnya ketika engkau berkata “Tidak mungkin”, disaat
itulah pula Tuhan mampu melakukan segalanya. Jadi ketika engkau merasa
harapanmu sungguh tak mungkin terjadi namun tetap percaya akan kuasa Tuhan, disaat
itulah Tuhan akan membuat keajaiban untukmu. ^_^
“Hah, Shinichi Kudo???” Tanya Ara
dengan tampang kebingungan. Wajar saja bagaimana mungkin ada orang bernama
Shinichi Kudo di Indonesia.
“Hahaha.. Aku hanya bercanda,
mengapa wajahmu jadi aneh begitu :D” Jawab pria itu enteng.
“Oh, hanya bercanda.” Ucap Ara
dengan sedikit senyum terpaksa. Jelas saja Ara semakin tidak nyaman. Mengapa
aku jadi sebodoh ini? Berharap dia benar-benar Shinichi Kudo, batin Ara sedih.
“Namaku adalah M. Putra Redho
Kusuma, mungkin kita bisa jadi teman antar Fakultas.” Ucapnya ramah.
“Tentu dengan senang hati, aku permisi dulu ya.” Ara lalu membalikan
tubuhnya untuk segera meninggalkan pria dihadapannya. Tapi ada sesuatu yang
mengganjal pikirannya. Rasanya ia sering sekali mendengar bahkan membaca nama
yang barusan disebutkan oleh pria itu. Tapi dimana? Otak Ara terus berfikir.
Akhirnya pada langkah ketiga ia membalikan tubuh.
“Kau... Kau... adalah Putra kusuma
yang berhasil membuat karya tulis tentang cara mendeteksi kanker darah sejak
lahir. A... aku sangat suka tulisan itu. Hipotesisnya, hasilnya, serta
keakuratan percobaanmu sungguh mengagumkan.” Ara berujar dengan semangat yang
menggebu-gebu. Membuat pria dihadapannya hanya mampu tersenyum bingung.
“Tentu hasilnya mengagumkan, aku menghabiskan
waktu bertahun-tahun untuk itu.” Ujarnya dengan nada sombong.
“Waa, aku jadi menyesal
mengatakannya.” Ucap Ara jujur. Beberapa detik diam lalu pecah bersama gelak
tawa keduanya.
“Mungkin akhirnya Putra telah
menemukan Putrinya.” Putra mulai menghentikan tawanya.
“Hah?” Ara bingung lagi.
“Jangan dipikirkan. Oia, mulai
sekarang aku akan memanggilmu Putri ya.”
“Trimakasih itu juga bagian dari
namaku, indah kan :p.” Ara bangga.
“Yap, tapi Putri Jambret.” Ujar
Putra dengan nada mengejek yang membuat tawa mereka akhirnya pecah lagi.
***
Awal
pertemuan mereka yang unik tentu membuat bekas di hati masing-masing. Sosok
Putra yang humoris serta Ara yang bersahaja sungguh memperindah semuanya,
sehingga mampu membentuk tali pertemanan yang begitu indah di antara mereka.
Apalagi mereka sama-sama menyukai Detective Conan. Ara mulai terbuka, ia pun
telah menceritakan kesan pertamanya saat bertemu dengan Putra. Kesan yang
menciptakan perasaan bahwa pria di hadapannya saat itu adalah Shinichi Kudo.
Kalian tahu reaksi Putra? Dia tertawa terbahak-bahak dengan sedikit blushing
diwajahnya.
“Sudah ku cari Kau kemana-mana.
Ternyata di sini. Selalu saja di perpustakaan menatap untaian kata di buku-buku
tebal itu.” Cerocos Putra yang terlihat bak anak ayam menemukan induknya.
“Dari pada aku beli, kan enak baca
di perpustakaan. Gratis, wek :p” Jawab Ara dengan cibiran.
“Huuh. Oia, aku mau menunjukkan
sesuatu kepadamu.”
“Apa?” Jawab ara singkat, masih
fokus membaca buku di depannya.
“Taraa.” Putra menunjukkan beberapa
lembar kertas warna-warni di tangannya.
“Ini surat dari para penggemar.
Seorang calon dokter yang jenius dan tampan ini pasti sangat memikat.” Jawab
Putra bangga seraya menyodorkan kertas-kertas itu kepada Ara. Ara pun
menghentikan bacaannya dan menutup rapat buku di hadapannya.
“Boleh saja GR, tapi tetapkan satu
pilihan yang serius!” Ujar Ara sambil memperhatikan kertas-kertas yang kini ada
di genggaman tangannya.
“Serius ya.. Benar juga sih.”
Celetuk Putra dengan tatapan khusus ke Ara.
“Kenapa lihat muka orang seperti
itu?!”
“Eh.. Enggak.” Putra langsung
mengalihkan pandangannya.
“Tunggu dulu, aku merasa seperti
pernah membaca atau menonton adegan yang terjadi barusan.” Ujar Ara sambil
menopang dagu, terlihat berfikir serius.
“Aku tahu.” Ucap Putra.
“Aku juga sudah ingat, ayo ucapkan
bersama.”
“Satu... Dua ... Tiga ... Detective
Conan Chapter One.” Ucap mereka hampir bersamaan. Tentu saja hal konyol yang
mereka lakukan ini menjadi pusat perhatian, terlebih ketika tawa mereka meledak.
Hampir semua orang di perpustakaan meletakkan jari telunjuk mereka ke mulut.
Lalu berkata “Huuush... DIAM!”
Dengan
berat hati akhirnya mereka berdua berjalan gontai keluar. Meski begitu, guratan
senyum bahagia tak bisa ditutupi dari wajah mereka.
“Ara? Apa kau besok ada kerjaan?”
tanya Putra.
“Ada,” jawab Ara singkat.
“Oh,” aura wajah Putra memancarkan
rona kecewa.
“Aku harus bangun tidur, sholat,
masak, makan, mandi, kuliah, dan lain-lain,” sambung Ara lagi.
“Uh, bukan itu maksudku. Jam 3 besok
mau menemaniku?” tanya Putra hati-hati.
“Kemana?”
“Ayolah, aku tak berniat
mencelakakanmu,” Putra terlihat semakin getar-getir.
“Baiklah, tapi bagda ashar aja ya,”
jawab Ara.
“Terima kasih Putri baik, aku duluan
ya ada kelas nih. Aku tunggu bagda
ashar.”
Setelah menerima balasan senyum dari
Ara, Putra bergegas lari. Entah mengapa dia merasa begitu bahagia. Ingin
rasanya ia berteriak sebagai selebrasi dari kebahagiaannya. Tapi diurungkan
niatnya agar tidak di bawa ke RSJ :D.
Di sisi lain, Ara masih termenung.
Dia merasa terhipnotis untuk berkata ia pada temannya itu. “Ah, aku menyalahi
aturan lagi,” batin Ara kesal. Lagi-lagi dia harus terjebak dalam dua perkara
yang sulit baginya. Di satu sisi, Ara tidak ingin terlalu dekat dengan Putra
yang bukan mahramnya. Tapi di sisi lain, yang dia juga tidak mengerti datangnya
dari mana, Ara sangat bahagia berada di dekat Putra.
***
“Ayo cepat, kau sudah lewat dari
bagda ashar!” gerutu Putra sambil menarik tangan ara.
“Tak bisakah kau menghargai wanita!
Aku mohon, tolong jangan sentuh aku,” Ara cemberut sambil melepaskan tangan
Putra.
“Maaf, maaf, maaf Tuan Putri,” Putra
terlihat amat menyesal.
“Huh, kalau kau bukan temanku, habis
kau!” Ara meniru logat batak yang membuat suasana jadi cair lagi.
“Kau bisa saja, ayo cepat ikut aku!”
perintah Putra yang ditemani dengan senyuman manisnya.
Setibanya di sebuah restoran mewah,
mereka duduk di tempat yang sangat strategis. Dengan nuansa romantisme yang
kental, api kecil menari-nari di atas
lilin menyampaikan semerbak bau aroma terapi.
“Mengapa kita kesini?” bisik Ara.
“Aku lapar.” Jawab Putra sekenanya.
“Nggak apa-apa nih? Disini
kelihatannya mahal.”
“Jangan khawatir, aku sudah membongkar
celengan.” Putra tersenyum dan mengedipkan satu matanya.
Sambil menunggu pesanan mereka
datang, tak ada satu bait kata pun keluar dari mulut keduanya. Padahal,
biasanya mereka sangat fasih berbincang baik dalam bidang politik, sosial, dan
budaya. :)
“Putra, sebenarnya ada apa? Mengapa
kau mengajakku ke sini? Ara memecah
keheningan.
“Tidak ada apa-apa, sekali-sekali
aku ingin mentraktirmu makanan mewah.” Putra terlihat gugup.
Ara sekarang termenung. Rasanya
beberapa hari yang lalu putra mentraktirnya makan di cafe, membelikan pizza,
ayam panggang, dan berbagai macam jenis makanan lainnya. Apa itu tidak termasuk
mewah? Batin Ara.
“Oh, ku kira kau akan melamarku
seperti Shinichi di volume 26,” Canda Ara.
Tanpa sadar candaan Ara ini telah menskak teman yang ada dihadapannya
ini. Jelas-jelas putra terlihat salah tingkah.
“Aku hanya bercanda, jangan pasang
wajah seserius itu dong,” Ara meledek Putra.
“Jangan meledekku terus, aku mau
bicara serius ni!” ujar Putra tegas.
“Bicara apa??” Ara terlihat exaited.
Deg ... Deg ... Deg...
“Yang mau kubicarakan, emmm...
makanannya enak ya.” Putra salah tingkah karena sebenarnya makanan mereka belum
datang.
“Aku tahu makanan di restoran mewah
seperti ini pasti enak, tapi kau bukan
mau bicara itu kan,”
“Iya, aah tidak.” Putra semakin
getir sambil mengusap dahinya yang berpeluh.
“Aku tahu kamu sulit mengatakannya.
Tapi, sebagai laki-laki kamu harus mengatakannya. Kamu ingin pinjam koleksi
Detective Conanku kan.”
“Hah?” Gubrak, rasanya Putra
benar-benar ingin jatuh mendengar kata-kata wanita dihadapannya ini. Mengapa
dia tidak peka? Batinnya.
“Lho bukan ya?”
“Oh nggak, sebenarnya memang itu.
Ha... Ha... Ha...” Putra tertawa terpaksa.
“Mana mungkin itu dong!” lanjut
Putra saat mulai mampu menguasai emosinya.
“Eh?”
“Aku sengaja mengajakamu makan
karena ada yang ingin ku katakan padamu, bahwa sebenarnya aku tahu akan semua
harapanmu.”
“Harapanku?”
“Harapanmu untuk bertemu dengan seorang
berwajah Kim Soo Hyun, berkepribadian Shinichi Kudo, dan bersuara merdu saat
membaca Al-Quran.”
“Hya! Jangan ingatkan lagi :p
ternyata ada juga orang yang sempat
membaca status itu. Aku malu mengingatnya.” Wajah Ara kini telah memerah.
“Mengapa mesti malu? Padahal aku
sudah susah payah untuk menjadi orang yang kau mau.”
“Hah?” Ara terkejut.
“Aku telah mengenalmu sebagai
pribadi yang baik saat OSPEK, lama aku mencari tau tentangmu. Hingga suatu hari
Tuhan memperlihatkanku pada statusmu. Aku menganggap itu sebagai takdir. Aku
pelajari tokoh Shinichi Kudo, walaupun aku tak sebaik dia, aku sudah miripkan?”
Putra bertanya yang langsung dijawab dengan anggukan kecil oleh Ara.
“Walaupun aku juga tidak setampan
Kim Soo Hyun, tapi aku tampan jugakan.”
Kali ini tak hanya mengangguk tapi Ara juga tertawa kecil.
“Nah, harapanmu yang terakhir
sedikit berat. Walaupun suaraku tak kalah dari Pasha Ungu, rasanya suaraku
takkan bisa menandingi suara Bilal saat adzan.”
“Membaca Al-Quran tak perlu dengan
modal suara merdu atau nyaring seperti Bilal. Yang terpentinng istiqomah dalam
membacanya pasti dengan sendirinya suara akan terdengar indah.” Jelas Ara.
“Kau benar.Oia, karena aku telah mengungkapkan
rahasia itu, maka hari ini aku ingin melamarmu.” Seraya mengeluarkan kotak
kecil dibalik kemejanya.
“Apakah kau mau?” lanjutnya lagi.
“Maaf aku tidak bisa.” Rasanya ada
sebuah batu besar ditenggorokannya ketika mengatakan ini.
“Pasti tidak bisa menolak, Ha...
ha...” kata Putra yakin.
“Tidak, aku benar-benar tidak bisa.
Maaf aku tidak mau pacaran.” Ara berucap dengan menundukan wajahnya, menutupi
kristal yang telah bersemayam dalam kelopak matanya.
“Aku tidak mengajakmu pacaran, aku
akan melamarmu. 6 bulan lagi aku menyelesaikan study setelah itu aku akan
menikahimu. Untuk sekarang kita tetap berteman seperti biasa, jadi kau jangan
khawatir.” Putra masih berusaha meyakinkan.
“Maaf. Aku tetap tak bisa.” Ara
masih menunduk.
“Putri coba tatap wajahku dulu, kau
tak lihat aku bicara tulus, aku tak bercanda seperti biasanya.”
Ara mengangkat wajahnya.
Menyingkapkan kebenaran bahwa sedari tadi air matanya telah mengalir deras.
Putra tertegun, dia sekarang malah merasa bersalah. Apa dia sudah keterlaluan
memaksa Ara.
“Maafkan aku, aku .. aku .. tidak
punya daya dan upaya untuk berkata setuju. Aku tidak mau menyalahi takdir. 6
bulan bukan waktu yang sebentar. Siapa yang bisa menjamin 6 bulan yang akan
datang engkau masih mencintaiku? Siapa yang bisa menjamin 6 bulan yang akan
datang kita masih bisa bertemu? Siapa yang bisa menjamin 6 bulan yang akan
datang aku belum meninggal!” Ara terisak-isak.
Untunglah mereka duduk di tempat
yang strategis sehingga tidak menarik perhatian pengunjung lainnya. Putra
termenung, ia sadar akan kebenaran dari ucapan wanita dihadapannya.
“Maafkan aku Putri, kau jangan
menangis lagi.” Perasaan putra telah berkecamuk, namun tetap menenangkan Ara.
Ara berdiri dari kursinya, namun
entah apa yang terjadi keseimbangannya hilang. Ara terjatuh, untung Putra
dengan sigap membantu. Wajah Ara tepat terjatu di pundak Putra. Sesegera Ara
berdiri lagi, dan pergi ke toilet seraya menutup hidung dan mulutnya.
Ketika Ara kembali dari toilet,
suasananya telah berubah. Putra dengan sigap mengajak Ara memakan makanan mewah
yang telah tersedia. Mereka makan sambil bercerita hal-hal lucu yang ringan,
seolah-olah percakapan panjang dengan klimaks tinggi tadi tidak pernah terjadi.
***
Putra menarik napas dalam,
menenangkan pikirannya yang masih terbayang-bayang akan kejadian di restouran.
Namun, ketika ia membuka kemejanya Putra tertegun. Guratan warna merah telah
bersemayam di kemejanya. “Darah siapa ini?” Batinnya bertanya-tanya. Darah itu berada tepat di bagian pundak
kemejanya. Putra langsung teringat dengan Ara lagi. “Apakah benturan tadi
terlalu kuat? Darahnya bisa sampai sebanyak ini?” Putra pun merasa getar-getir.
Bersambung . . .
0 comments:
Post a Comment