Friday, February 21, 2014

Cerpen: Memori yang Terlupakan

Sik asik >.<
Malam sabtu datang, artinya newpost buat blog anyar ini. Maaf untuk ketidak hadiran minggu lalu karena ada urusan yang tidak memungkinkan untuk membawa perangkat blogger. Untuk malam ini aku akan ngpost cerpen lama nih. Cerpen yang dibuat untuk tugas sekolah di SMA. Bukannya bermaksud untuk malas menulis karya baru, tapi aku lagi nyicil file-file karya yang terabaikan di leptop tercinta ini :D Sekalian nostalgia ama cara penulisan anak SMA.
Nyok mampir dulu, nyantai dulu sambil baca ni cerpen ^^
Selamat membaca.


Memori yang Terlupakan

Oleh: Devy Destiani


            Aku terdiam dalam sebuah ruangan putih. Ruangan luas, kosong dan sunyi. Hingga akhirnya suara alarm alami dari ayam pejantan membangunkanku.
            Pagi ini, aku, Alea Putri Naraena menjalankan peranku sebagai salah seorang siswi di salah satu sekolah menengah atas. Aku merasakan kebahagiaan saat di sekolah.
            Tapi aura yang berbeda selalu aku rasakan saat berada di rumah. Ada hal yang aku rasa kurang. Rumahku selalu terlihat sepi dan sunyi. Terkadang hanya suara jangkrik yang memecahkan kesunyian di rumahku.
            Ada beberapa hal pula yang terkadang membuatku menangis tanpa sebab. Membuatku bingung dengan jiwaku sendiri. Bahkan, terkadang aku tidak dapat merasakan kehadiran jiwa yang lain di rumahku.
            Pagi ini saat aku kembali terbangun. Aku merasakan kehadiran kakak perempuanku. Tapi, saat aku pulang sekolah. Aku tak melihat lagi kakak perempuanku. Aku bingung dan untuk kesekian kalinya aku tidak bias mengatur emosiku. Sahabatku pun membantuku untuk bertanya kepada tetanggaku, kemana gerangan kakak perempuanku. Tetanggaku mengatakan bahwa kakak perempuanku sedang berziarah. Aku tersentak kaget dan segera mengarah ke pemakaman.
            Setibanya di pemakaman. Aku melihat kakak perempuanku sedang membaca yasin sambil tersedu-sedu. Aku bingung melihat pusara itu berpasangan namun aku tak mengenalinya. Aku pun ikut melantunkan surah yasin, tanpa berucap satu kata pun agar tak mengganggu kekhusyukan kakakku.
            Setelah berakhir lantunan yasin. Aku kembali berusaha untuk mengetahui pemilik pusara itu. Jasad yang mungkin sudah menyatu dengan tanah. Gianto dan Kustiyah, wafat 15 maret 2010. Aku tersentak kaget dan segera bertanya pada kakakku.
            “Kak, apakah ini benar-benar makam Gianto dan Kustiyah ?”
            “Benar, Dek.” ujar kakakku seraya memelukku dengan erat.
            “Jadi, Ayah, Ibu, mereka sudah meninggalkanku.” tetesan air mata it uterus mengalir.
            “Sabar ya Dek.”
            Aku tertunduk, jatuh merangkul kedua pusara. Secara perlahan gerbang memoriku terbuka. Kenangan tentang kejadian satu tahun lalu, tepat tanggal 15 maret 2010.
            Saat itu aku dan kedua orangtuaku akan pergi ke tempat kakakku, orang yang sudah berhasil di Kota Jakarta. Awalnya perjalanan kami berjalan lancar. Namun, saat pesawat yang kami tumpangi tiba-tiba berubah gaduh. Itulah awal dari mala petaka yang sesungguhnya.
            Kebakaran kecil pada sayap kapal, berbuah menjadi musibah maha dahsyat yang tak pernah terbayangkan oleh aku, Ayah, dan Ibu. Api itu mulai membesar hingga membakar setengah bagian pesawat. Semua panic termasuk pilot. Dengan pemikiran panjang akhirnya diputuskan untuk pendaratan darurat. Tapi saying, sebelum pesawat menyentuh litosfer. Api sudah menjalar ke bagian bahan baker, dan ledakan maha dahsyat pun tak terelakkan lagi. Semua hancur luluh lanta. Puing-puing dari kemegahan pesawat kini berubah menjadi titisan debu tak berarti.
            Mungkin ini suatu keajaiban dari Allah SWT. Aku selamat dari kecelakaan yang menghilangkan lebih dari 78 jiwa. Saat badanku bertumpuk dengan jasad yang tak bernyawa, saat hatiku sudah pesimis untuk tetap hidup. Bantuan dari sang pencipta itu hadir.
            Namun, aku tetap merasakan efek dari kecelakaan itu. Pusat syaraf otakku terganggu dan menghapus sebagian memoriku. Oleh sebab itu, aku tidak menyadari bahwa kedua orangtuaku juga termasuk korban meninggal dalam kecelakaan itu.
            Semakin hari, aku memperdalam ilmu agamaku. Memanjatkan do’a agar kedua orangtuaku damai di sisi sang pencipta. Sekarang aku telah mengerti tentang perasaan sepi dan sunyiku saat di rumah. Aku bahagia telah menemukan jati diriku. Karena Orangtuaku adalah bagian dari jati diriku.
 



1 comment:

  1. Cerpen ini msih bnyak kekurangannya, harus semangat belajar :D

    ReplyDelete

Total Pageviews

Powered by Blogger.

Translate

Belajar untuk Menulis, Menulis untuk belajar