Apakah itu Ibu ???
Oleh: Devy Destiani
Hari
ini,setelah sekian tahun,bulan,minggu,hari,jam,menit dan detik. Akhirnya aku
menyadari satu hal. Bahwa aku tidak ada arti dihadapannya. Aku tak dianggap, bahkan
aku tidak lebih dari sekedar sampah dimatanya. Walau titisan air mata selalu
jatuh untuknya, selalu mengalir deras saat berdo’a untuk kebaikkannya.
Setiap
mengingat tentang dirinya,tanpa terasa air mata itu terus mengalir dengan
derasnya. Berbagai perlakuan kasar, ketidak adilan, serta cacian dan makian yang
selalu aku terima dari bibirnya. Telah mengkebalkan hatiku. Karena dia
satu-satunya orang yang benar-benar aku sayangi dalam hidupku.
Tak
pernah terlintas dalam pikiranku. Hidupku akan menjadi neraka seperti ini.
Andaikan hidup didunia ini hanya sebuah mimpi, ingin rasanya aku segera bangun.
Seluruh hal yang aku kerjakan selalu salah dimatanya. Padahal aku selalu
berusaha untuk tidak menyusahkannya. Aku tahu, dia hanya lah seorang wanita tua
yang sudah tidak sanggup lagi memikul beban hidup yang berat ini. Tapi haruskah
aku dijadikan sebagai tempat pelampiasan amarahnya.
Aku adalah Naira Dwi Fatimah, anak kedua dari
tiga bersaudara. Aku mempunyai satu kakak perempuan dan satu adik laki-laki. Awalnya
aku merasa hidupku begitu sempurna, karena sebagai anak tengah aku tidak
menanggung beban yang sulit, walaupun aku juga tidak pernah dimanja. Namun,aku
adalah anak yang paling disayang oleh Ayah.
Tapi itu dulu, sekarang semuanya
berubah dan virus neraka itu mulai melanda hidupku. Merusak berbagai organ hidup
yang membuatku bahagia, menghilangkan beribu harapan masa depanku. “Akhirnya mimpi buruk itu datang, oh Tuhan.
Berikanlah hambamu kebahagiaan walau hanya dalam mimpi.” Aku tahu mungkin Allah
hanya mengujiku sebagai hambanya. Tapi sampai kapan aku bisa bertahan dengan
hidup yang telah serumit benang kusut.
***
Dihari yang cerah itu, aku berdiri
menunggu kedatangan Ayah. Dia telah berjanji akan mengajakku makan gurami
bakar. Walau Ayah bukan orang kaya, tapi dia selalu menepati janjinya. Lama aku
menunggu sambil
berjalan perlahan. Dan sesampainya di lintasan kereta api. Aku melihat banyak orang berkerumun
disana, ku lihat juga tetesan darah yang tidak pada tempatnya. Suasana berubah
menjadi mencekam. Hatiku benar-benar gugup saat melihat sebuah motor pespa
warna biru terlihat hancur tak berbentuk
lagi. Aku semakin mendekati kerumunan itu, dan seketika merasa jantungku
berhenti berdetak saat ku lihat wajah yang hancur berlumuran darah itu, darah
yang mengalir bagaikan sungai, aku tau siapa pemiliknya. Itu adalah Ayah.
Hari itu adalah hari terburuk dalam
hidupku. Keluargaku begitu menyalahkanku atas kepergian Ayah, karena hanya
untuk menepati janjinya padaku akhirnya beliau menjemput ajalnya. Aku
benar-benar terpojok. Tidak ada yang
membela diriku. Bahkan seorang Ibu malah seperti bambu runcing untukku. Yang
setiap kata keluar dari mulutnya telah merusak, mengoyak, dan mencabik-cabik
hatiku. Mengapa semua orang memojokkanku disaat aku juga sedih atas kepergian
Ayah. Mereka tidak mengerti, betapa
hancurnya perasaanku kehilangan seorang yang benar-benar aku cintai. Orang yang
telah berjanji kepadaku dan selalu berusaha untuk menepatinya. “Jangan
tinggalkan aku di sini sendirian, aku ingin ikut dengan mu Ayah!”
Salah,salah,salah. Aku memang selalu
salah. Amarah Ibu kali ini sepertinya benar-benar memuncak. Dari pagi sampai
sore aku pergi ke makam Ayah. Memberikan do’a kepada beliau, berusaha membahagiakan
hati beliau, dan membuat beliau tenang di alamnya. Sesampainya dirus mah ibu
semakin marah mendengar penjelasan ku, Ibu tidak mempercayaiku.
“Maaf bu, aku hari ini dari makam
Ayah, tadi aku sudah sholat dimasjid.”
“Jangan beralasan Ayahmu, kau hanya
membuat dia sedih. Tingkahmu seperti perempuan yang tidak benar. Kau hanya
memalukan nama keluarga!”
“Benar Bu, aku hanya memberikan
kiriman do’a untuknya.”
“Stop beralasan, MUNAFIK!” ucapan
Ibu bersama tamparannya kewajahku.
Aku terdiam seribu bahasa. Ibu
benar-benar sudah menghapusku dari daftar keluarganya. Penjelasanku yang sudah
sejujur-jujurnya pun tak didengarnya. Tanpa ku sadari kakiku melangkah perlahan
tanpa tujuan. Seperti daun di aliran sungai yang selalu
mengikuti arus.Begitulah aku saat ini tanpa tujuan,tanpa harapan.
Kulihat dipinggir jalan itu. Seorang
ibu yang menggendong anaknya. Meminta-minta mencari sesuap nasi untuk anaknya.
Walau dia hanya seorang pengemis, tapi dia terlihat begitu menyanyangi anaknya.
Alangkah beruntung anaknya itu,pikirku. Rasanya iri aku melihat mereka penuh
kasih sayang. Andai itu ibu!
Sambil terus berjalan menuju hal
yang tak pasti. Ku lihat lagi seorang wanita tua yang sedang membongkar-bongkar
bak sampah, mencari secercah kemungkinan hidup. “Apakah itu ibu?” pikirku dalam
hati. Perlahan aku dekati perempuan itu. Namun, seketika “Brukkkk !!!” suatu
dentuman keras menyakitkan kepalaku.
Aku tertidur dengan lelap.Lelap, benar-benar lelap. Tak ada
yang aku ingat selain bunyi dentuman itu beserta lemparan keras tubuhku.
***
Mataku terbuka dari tidur itu, tapi
aku tidak tau ini dimana. Tempatnya begitu indah, mempunyai taman yang luas
dengan beribu bunga yang sedang bermekaran, serta istana megah memperindah
tempat ini. “Apakah ini surga? apakah aku sudah ketempat Ayah.”
Wanita cantik dengan gaun pesta nan
indah keluar dari istana itu. Wanita itu sungguh ramah tersenyum dihadapanku.
Apakah wanita ini adalah ibuku?
tapi sepertinya bukan. Dia lebih mirip seperti bidadari dari pada seorang ibu. Wanita
itu mengeluarkan cahaya yang sangat terang, membuatku tak dapat jelas
melihatnya. Wanita itu menarik tanganku, sepertinya dia ingin mengajakku
kesuatu tempat. Tapi aku tidak mau. Sekuat tenaga aku menolaknya. Lalu aku
mendengar suara yang masih ku ingat dengan jelas. “Ikuttilah wanita itu, Nak!” itu
adalah suara Ayah. Akhirnya aku mengikuti ajakkan wanita itu.
Kami melewati terowongan cahaya, yang
rasanya bagaikan melewati ribuan tahun cahaya. Hingga akhirnya kami sampai
disuatu tempat yang sepertinya pernahku kunjungi. Iya, tempat itu. Tempat aku
melihat seorang wanita pengemis yang membuatku iri akan kasih sayangnya. Aku dan wanita cantik itu mengikuti pengemis
yang menggendong anaknya. Aku benar-benar heran, tidak ada satu orang pun yang
bereaksi saat melihatku berjalan bersama seorang wanita cantik dengan pakaian
bagaikan Ratu inggris ini. “Wuush.” Sebuah mobil melewati tubuhku dan wanita
itu. Tapi kami tidak mengalami apa-apa. Tidak luka sedikit pun. Ku panggil
seorang wanita yang sedang memungut sampah itu. Tapi, dia bagaikan tidak
mendengarku sama sekali. Semua tidak bisa merasakan kehadiranku. Ku tanyakan
kepada wanita itu. Tapi dia tidak menjawab, wanita itu hanya tersenyum.
Setelah lama kami mengikuti. Akhirnya pengemis
yang menggendong anaknya itu berhenti di sebuah gedung tua. Kulihat banyak anak
kecil disana, dipekerjakan untuk menjadi seorang pengemis. Aku pun mendengar
percakapan yang benar-benar mengiris hatiku.
“Dasar anak kecil bodoh, kalau bukan
buat dijadikan alat supaya orang kasihan. Sebelum lahir kamu sudah aku bunuh,” amarah Wanita tua itu kepada anaknya.
“Maaf Buk, cuma itu
yang dikasih orang,” jawab anak
kecil itu sambil menahan tangis.
“Uang 10000 zaman sekarang tidak ada
artinya BODOH!” sambil
menampar mulut anak itu hingga berdarah.
Rasanya aku ingin marah, melihat
ketidak adilan itu. Aku tidak menyangka seorang ibu tega memanfaatkan anaknya seperti itu. Aku pikir
wanita itu, adalah ibu
yang baik untuk anaknya. Tapi dia kejam, lebih kejam dari pembunuh berdarah
dingin sekali pun.
Aku semakin tertunduk, ternyata
pengemis yang kukira baik ternyata jauh lebih buruk dari ibuku.
Sekarang wanita cantik itu menarikku lagi, kesebuah rumah sakit. Aku masuk
kesalah satu ruangan, aku sangat
terkejut karena didalam ruangan itu ada jasadku tertidur tanpa roh, berlilitkan
selang infus yang mungkin bisa menambah kekuatanku. Tapi, ada satu hal yang
ganjil. Tidak ada seorang pun menjaga jasadku itu. Sepertinya, mereka
benar-benar menginginkan kematianku. Wanita itu telah menyuruhku untuk kembali
ke jasadku, tapi aku tidak mau. Lebih baik aku bersama Ayah di alam yang baru.
Tidak kusangka, Ibuku akhirnya
datang. Dengan membawa barang-barang kesayanganku,barang-barang pembelian
Almarhum Ayah. Muka ibu terlihat begitu sedih dengan air mata yang tak berhenti
keluar dari pelipis mata tuanya. Tersendat-sendat Ibu membacakan dua kalimat
syahadat ditelingaku, mengusap kepalaku dengan kasih sayang yang telah lama
tidak kurasakan. Ibu membacakan surah Yasin untukku. Memohon untuk ke
sembuhanku. Lalu datang pula kedua saudaraku. Membacakan berbagai do’a untukku
Hatiku begitu terketuk melihatnya, wanita cantik disampingkupun hanya
tersenyum. Ada suara yang menggema ditelingaku. Suara Ayah yang selalu aku
sayangi.
“Naira, kamu tau kan sekarang. Betapa sayangnya Ibumu pada dirimu, betapa
dia tidak akan rela jika kau meninggalkannya. Cukuplah Ayah saja yang
meninggalkan dirinya. Jangan lagi sakiti hatinya Nai. Jika kau tidak
kembali,Ayah tidak tau betapa hancurnya perasaan ibumu kehilangan dua orang yang dia sayangi pada waktu
yang hampir bersamaan. Mungkin ibumu
hanya emosi sesaat kemarin.
Tapi Nai, sekarang
saatnya kamu kembali, buatlah ibumu
bangga mempunyai anak sepertimu. Berjanjilah kepada Ayah Nai, raihlah
cita-citamu dan bahagiakan Ibumu. Tentu aku akan bangga pula dialamku.”
“Baik Ayah, aku berjanji dari hatiku yang paling dalam.”
Setelah berjanji, aku masuk kedalam jasadku. Tepat disaat keluargaku
selesai membaca surah Yasin. Mataku membuka melihat dunia dengan mata yang
nyata lagi. Dengan spontan Ibu
memelukku dengan eratnya,
seakan tidak ingin lagi berpisah. Kakak perempuan dan adikku pun ikut berpelukan
bersama kami.
“Jangan tinggalkan kami lagi, Kak!” ucap adikku.
“Tentu dik.”
Kata-kata adikku membuatku merasa sangat bahagia. Aku merasa mimpi buruk
itu sudah berakhir. Dan sekarang saatnya aku menggapai mimpi yang nyata.
Menggapai seluruh harapan ayah
yang sudah dibebankannya padaku. Aku akan berusaha untuk menjadi yang terbaik
agar dapat membuat ibu
bahagia dan ayahku
pun akan bangga kepadaku disurga.
Kulihat disekeliling kamar rumah sakit itu, wanita cantik itu sudah hilang.
Aku tidak dapat melihatnya. Mungkin karena alam kami yang sudah berbeda. Aku
pun tak mendengar lagi suara Ayah. Tapi aku yakin, Ayahku pasti sudah tenang
disurga. Do’akan aku Ayah, semoga anakmu ini bisa menggapai semua impiannya.
JThe End J
0 comments:
Post a Comment